Kartini Masa Kini dan Konstelasi Demokrasi

Emi Rahyuni, S.P.
Oleh : Emi Rahyuni, S.P.
LABRITA.ID - Ada perhelatan akbar yang telah digelar di April 2019 ini. Semua sepakat untuk menamainya sebagai pesta demokrasi. Seyogianya, sebagaimana laiknya sebuah pesta, semua rakyat menikmati pesta demokrasi ini dengan suka cita.
Sementara itu, di bulan yang sama seperti tahun-tahun sebelumnya, April juga selalu identik dengan perayaan Hari Kartini. Pada 21 April di Tahun 1879, lahirlah seorang gadis kecil dari Jawa, tepatnya di Tanah Jepara bernaman RA Kartini yang kemudian menjadi tonggak perjuangan seluruh perempuan Indonesia.
Maka akan menjadi istimewa jika kita mencoba membahas tentang peran dan posisi perempuan dalam memanfaatkan momentum pesta demokrasi. Perempuan dan demokrasi. Sepertinya akan menjadi sebuah kolaborasi topik yang menarik. Betapa tidak, sehebat apapun perkembangan zaman, secanggih apapun peradaban, ketika berbicara tentang demokrasi yang notabene tak terpisahkan dari politik, sepakat atau tidak perempuan selalu menempati posisi kelas kedua.
Baca Juga: Perempuan di Tengah Arus Modernitas
Tak ada yang menampik bahwa menelusuri lorong-lorong kehidupan perempuan tak pernah ada ujungnya, ibarat mata air yang tak akan pernah mengering. Perempuan selalu mengambil peran penting di setiap zamannya. Sehingga tidak berlebihan jika kita sepakat dengan pepatah Arab bahwa selalu ada perempuan kuat di balik setiap lelaki hebat. Atau orang Barat menerjemahkannya dengan “behind every great man, there is even a greater women”.
Sekalipun penetapan Kartini sebagai pahlawan nasional masih kontroversial mengingat perjuangannya tidak menggunakan fisik seperti memanggul senjata mengusir penjajah sebagaimana yang dilakukan oleh srikandi-srikandi Indonesia lainnya, tidak bisa kita pungkiri bahwa perjuangan Kartini dalam memajukan perempuan Indonesia begitu penting dan layak dihargai. Sebab ketika itu, bagi perempuan Indonesia khususnya perempuan Jawa, mengenyam pendidikan adalah sebuah hal langka lagi tabu. Perempuan selalu diposisikan sebagai makhluk kelas inverior, termasuk dalam hal pendidikan, politik dan sebagainya.
Lalu Kartini hadir. Mendobrak batasan-batasan itu, memberikan pencerahan bahwa perempuan juga berhak mendapatkan pendidikan yang layak sebagaimana laki-laki. Kartini seorang perempuan yang cerdas. Ia mengerti bahwa sekuat apapun ia berteriak, suaranya takkan pernah terdengar pada masa itu. Just because she born as a women. Sesederhana itulah alasannya. Lalu ia menulis. Terus menulis. Segala keresahannya, kegalauannya terkait diskriminasi terhadap kaum perempuan ia tuangkan lewat tulisan. Dan benar saja, seperti kata orang bijak bahwa “Apa yang kau pikirkan akan hilang, tetapi apa yang kau tulis akan tercatat dalam sejarah”.
Dan kartini tahu betul akan hal itu. Berawal dari korespondensinya dengan seorang bangsawan Belanda yang berisi curahan-curahan hatinya akan posisi perempuan yang terdiskreditkan saat itu, diabadikanlah menjadi buku, bahkan kemudian menjadi beberapa buku dengan judul yang berbeda. Sebut saja Habis Gelap Terbitlah Terang, juga Panggil Aku Kartini Saja.
Meskipun banyak yang mempertanyakan keaslian tulisan-tulisan Kartini tersebut sebab sampai hari ini belum seorangpun yang mampu menunjukkan surat-surat asli Kartini, harus kita akui bahwa tulisan-tulisan Kartini tersebut telah memantik semangat sekaligus membuka tabir yang mengungkung kebebasan berpikir perempuan-perempuan Indonesia lainnya, bahwa perempuan juga harus cerdas, perempuan juga harus diberikan kesempatan untuk mengenyam pendidikan yang layak.
Keran paradigma kaum perempuan yang dahulu tersumbat, menjadi terbuka. Sekaligus menyingkap cakrawala opini mereka bahwa sebagaimana laki-laki, perempuan juga harus cerdas. Tidak ada yang salah akan hal itu, justru begitu membanggakan seorang Kartini bisa mendobrak batas-batas yang mengebiri kebebasan perempuan untuk mengenyam pendidikan.
“Kartini tidak punya massa, apalagi uang. Yang dipunyai Kartini adalah kepekaan dan keprihatinan dan ia tulislah segala perasaan-perasaannya yang tertekan itu. Dan hasilnya luar biasa. Selain melambungkan nama Kartini, suaranya bisa terdengar sampai jauh, bahkan sampai ke negeri asal dan akar segala kehancuran manusia pribumi,” demikian Pram menulis dalam bukunya tentang Kartini.
Kartini dan Emansipasi. Hal ini masih terus saja menjadi polemik bagi beberapa pihak terlebih ketika perempuan berusaha unjuk gigi ke ruang publik. Di satu pihak, ada kekhawatiran ketika perempuan berkiprah di bidang publik maka kiprahnya di bidang domestik yang konon menurut mereka tetap merupakan medan juang prioritas bagi seorang perempuan, akan terbengkalai bahkan berantakan. Sementara di lain pihak, ada gebrakan yang ingin ditunjukkan oleh perempuan, yakni keluar dari stigma sebagai makhluk inverior, dimana selalu bersifat resesif jika harus bersinggungan dengan kaum laki-laki.
Pada dasarnya, tak perlu ada emansipasi perempuan. Sebab Allah telah menciptakan perempuan dan laki-laki dengan sangat setara. Setara tapi tak sama. Mengapa tak sama? Tentu saja agar terjadi harmoni antara keduanya. Maka penulis lebih sepakat dengan pendapat Cahyadi Takariawan yang mengatakan bahwa alangkah manisnya jika di antara perempuan dan laki-laki, kita memilih diksi 'pasangan jenis' bukan 'lawan jenis' sebab Allah menciptakan keduanya untuk berpasangan, bukan untuk berlawanan.
Sederhana, tetapi ini terkait konstruksi berpikir kita. Agar seyogiayanya mindset yang kita bangun adalah bahwa perempuan dan laki-laki adalah mitra, pelengkap satu sama lain, bukan saingan apalagi untuk jago-jagoan di antara keduanya. Pun jika harus ada kompetisi di antara keduanya, maka itu adalah kompetisi dalam mengejar pahala dan Ridho Allah, bukan untuk memperebutkan peran dan posisi.
Kartini dan Politik. Kartini telah menjadi pemantik yang baik perjuangan perempuan di Indonesia. Khususnya di politik. Pintu pergerakan terbuka lebar. Salah satu upaya untuk meningkatkan peran perempuan sudah dilakukan dengan menerbitkan peraturan UU No. 2 Tahun 2008 memuat kebijakan yang mengharuskan partai politik menyertakan keterwakilan perempuan minimal 30 persen dalam pendirian maupun dalam kepengurusan di tingkat pusat.
Angka ini didapat berdasarkan penelitian Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang menyatakan bahwa jumlah minimum 30 persen memungkinkan terjadinya suatu perubahan dan membawa dampak pada kualitas keputusan yang diambil dalam lembaga-lembaga publik. Kemudian, dalam UU No. 10 Tahun 2008 ditegaskan bahwa partai politik baru dapat mengikuti setelah memenuhi persyaratan menyertakan sekurang-kurangnya 30 persen keterwakilan perempuan pada kepengurusan partai politik tingkat pusat.
Kartini telah memulai langkah yang baik. Maka jangan nodai niat sucinya. Jangan mendistorsi perjalanan yang telah ia rintis. Silahkan berpolitik. Tampil ke publik sebagai bagian dari anggota masyarakat yang ingin mengambil andil melakukan perbaikan. Menjadi calon anggota legislatif ataupun menjadi Calon Kepala Daerah. Eksplorasi segala potensi yang anda punya di tahun politik ini.
Tetapi jangan salah kaprah akan perjuangan Kartini. Kartini menulis hingga pemikirannya bisa terdengar ke mana-mana, tetapi ia tetap mengurus rumah ketika menikah. Kartini juga hebat di luar rumah, tetapi ia tetap menghormati suami serta ayahnya. Lalu buat apa cantik, cerdas, dan populer tetapi rumah tangga berantakan? Cerdas di publik harus, tetapi terampil di domestik adalah sebuah kewajiban. Sebab seorang perempuan dikatakan sukses, apabila peran publik dan domestiknya ikut sukses, tidak ada dikotomi di antara keduanya.
Selamat hari Kartini, semoga kita bisa mengambil hikmah dan ibroh dari perjuangannya, mengambil sebaik-baik peran dalam konstelasi demokrasi ini.
*Penulis merupakan Kabid Perempuan dan Anak KA-KAMMI (Keluarga Alumni-KAMMI) Sultra. Selain itu, juga sebagai Staf Distanak Prov. Sultra.